Wednesday, September 7, 2011

Ayah dan lain - lain.

Aku ingat bahwa terakhir Aku tunduk padamu waktu itu, ketika tangamu yang berurat dan keras karena sering beradu dengan logam menggampar ibu. Maka sejak itu tak pernah Aku patuh padamu biar sedikitpun. Hingga kadang Aku menjadi tidak mengerti ada ikatan gaib apa antara anak dan seorang Ibu.

Aku juga masih ingat terakhir kali kau menggamparku hingga patah kaki ijuk pada kepalaku lalu berujung Aku pingsan kemudian. Bukan salahmu tentu. Sejak hari itu yang kutahu bahwa Kau tak pernah lagi berani memukulku. Maka terbebaslah Aku. Atau mungkin di kemudian hari Aku terjaga dan mengerti bahwa kebebasan adalah harga yang harus mengorbankan ikatan. Dan sejak itu pula Aku tak pernah peduli akan sesuatu. Tidak, tidak sama sekali.




Maka kemudian Aku pergi ke seluruh pelosok bumi. Menginjakkan kaki sebentar atau mungkin seketika kemudian Aku beranjak lagi. Bumi tidak ramah Ayah, kau tahu itu.Seperti tanah yang kadang bersatu dengan hujan atau embun yang setia pada daun muda.

Lalu Aku kemudian di tengah - tengah pelayaran ini, merindukan Ayahku lagi. Sebuah perasaan rindu menggebu yang aneh. Yang sesungguhnya tidak Aku rasai sebagai sebuah kerinduan tubuh dengan bersua. Aku tidak rindu, pada kehadiranmu, tidak pada pukulan atau amarahmu kemudian. Aku tidak rindu Kamu Ayah, tidak juga Ibu. Tidak rumah, tidak saudara atau tiang - tiang berhala.

Lalu kemudian pelayar yang hilang geladak pada ombak ini merindukan sesuatu makhluk gaib yang abstrak. Bukan sesuatu, bukan sosok. Bukan pula manusia atau satu dari para dewi. Ada roh yang hilang tiada bekas. Seperti Aku haus akan air padahal kenyang Aku pada air di sekeliling.

Maka yang kutakutkan adalah manusia harus mati sebelum dia menemukan wujudnya. Ada suatu keadaan kosong, hampa. Tentang seseorang yang tak tahu siapa.

0 komentar:

Post a Comment