Saturday, September 10, 2011

Manusia tanpa kulit.


Hari ini, Aku melihat ada sepasang orang tua sedang menyusuri sisa olahan hasil bumi paling akhir. Keduanya renta, Sang laki - laki berjalan saja dengan layu dalam kulitnya yang sudah merebak ungu. Pujaan hatinya yang dulu mungkin cantik jelita, bunga desa bertapak - tapak pelan mengikuti. Entah darimana, entah mau kemana. langit sore hanya jadi tirai transparan yang membatasi mataku dan mereka. Langit saja malu dan malas menghujam bumi dengan gaung sinarnya.


Tiada yang menarik sebenarnya melihat kedua manusia yang bertahan di penghujung hidup itu berjalan dalam sepi.
Tidak, tidak sampai mendung tak kunjung datang, langit terbelah, dan sang Lelaki berhenti sebentar. Menoleh ke belakang, menunggu pujaan hatinya yang cantik dalam balutan kulit manusia kusut dan longgar untuk menyusulnya. Dia, sang laki- laki itu berhenti sampai Perempuan itu sampai tepat ada di sisinya. Tangannya merangkul kulit tangan istrinya yang sudah kering, dan mereka berjalan bersama, berlajut entah kemana.

Lalu Aku jadi berpikir, apakah nanti kita manusia selanjutnya akan tetap mampu bisa mencintai dengan tulus. Dengan tidak melihat apa yang menyelimuti daging, tapi apa yang terpancar dari mata? Tiada kecantikan dalam sosok seorang perempuan tua renta itu. Tidak, tidak ada sedikitpun. yang tersisa, hanya mungkin kenangan - kenangan kecantikan masa lalu dan kebaikan hati dan kebesaran rasa dari sang Laki-laki.

Apakah kita akan bisa seperti itu?

Aku pikir dunia akan indah, jika kita semua tak berbalut kulit. Melenggang ke sana kemari dalam seonggok daging yang polos. Dan tiada lagi pertanyaan, mengapa kulitmu hitam? Mengapa Rambutmu keriting? dan sejuta mengapa - mengapa lainnya.


Bisakah kita?





September Sepuluh, Dua ribu sebelas.


Pic Credits to owner here.

0 komentar:

Post a Comment