Wednesday, July 27, 2011

Percakapan dengan Ibu penjual Bubur




Tadi pagi, Saya pergi ke warung bubur. Warungnya sepi. Jadi Saya pesan segelas kopi dan meminta rokok. Minta. Bukan beli. Ha ha ha. Warungnya di depan rumahnya. Dan karena sepi, maka Saya dipersilahkan duduk di dalam rumahnya saja temani Ibu yang menjual bubur. Maka, terjadilah percakapan yang tak terasa sekitar dua jam lamanya. Memang, kalau sudah asik mengobrol, Saya kadang lupa waktu. Jadi mungkin sedikit kuceritakan di sini.

Ibu penjual ini tinggal bersama ayahnya dan anak laki – lakinya. Rumahnya besar, bergaya jawa zaman pra kemerdekaan. Kamarnya banyak, ruang tengahnya besar. Di dalam rumah ada pajangan – pajangan keris, dan banyak lukisan cat. Kursinya masih model kursi rotan anyaman dulu. Jadi sambil duduk – duduk, Saya sengaja melihat – lihat sebuah foto Bapak Ibunya, hitam – putih dan sudah sedikit berjamur di pinggirannya, lukisan cat air Ibu-Bapaknya. Dan ada lukisan pemandangan, lukisan Ikan di kolam. Semua lukisan cat.



 Model rumahnya, angin – anginnya semua masih model dulu. Rumah ini dibangun tahun 1950. Tidak ada banyak perubahan katanya. Hanya dulu yang berdinding papan, diganti beton. Tapi skema dan arsitekturnya masih dipertahankan. Memang rumah ini sudah kelihatan tua walaupun dibalut oleh beton. Bukan betonnya yang sudah lama, tapi memang model rumahnya yang menunjukkan zamannya. Rumahnya dirubah jadi beton tahun ’65. Kala PKI sedang menjadi buah bibir di Ibukota.

Ibu penjual bubur langgananku ini orangnya ceria, suka bercanda, dan rame. Terlihat kalau tak pernah punya masalah dalam hidupnya. Karena kebetulan sudah agak siang, maka pembeli sudah jarang. Maka akhirnya Saya jadi mengobrol dengannya.  

Karena tak bisa kuceritakan secara detail. Maka Saya hanya akan menulis sedikit kisahnya. Dan beberapa kalimatnya yang membuatku hanya bisa mengangguk – angguk dan tertawa. 

Obrolan dimulai dengan Saya ditemani secangkir kopi panas, sebatang rokok Djarum. Beliaupun menyalakan rokoknya. 

Ibu Nia namanya. Namanya baru kuketahui setelah sekian lama makan di tempatnya. Yang pasti, salah satunya Angkatan Laut. Tinggal di Halong – Ambon. Bersaudara sembilan orang.  Entah berapa perempuan, dan berapa laki – laki. Tak kutanya lebih lanjut. Ayahnya orang Magelang, pegawai Pemerintahan. Ibunya Dokter didikan di RS. Elizabeth Semarang. Kakek neneknya Keluarga Keraton Solo. Jadi darah keraton ada dalam keluarganya. Kakeknya Wedana. Kalau sekarang setingkat bupati untuk daerah Solo dulu.

“Lah, keluarga Saya ini ya kan keturunan keraton. Saya juga. Kakak – kakak Saya hampir semua pake Titel Raden (R) dan Raden Roro (RR), kalau ibu itu istri, jadi titelnya Raden Nganten (R.Ng). Saya gak pake itu titel RR. Ah, Saya mah malas pake embel – embel Raden Roro, terlalu keratonisme. Ndak suka Saya orang harus jalan merangkak – rangkak Cuma buat ketemu Saya. 

Tahu kan gimana bentuknya kasta kalo di keraton. Ya harus jalan merangkak kalo mau ketemu sama yang kastanya lebih diatas. Ndak suka Saya kayak begitu. Untung sekarang udah memudar kalau di kalangan masyarakat. Makanya Saya lepas titel RR itu. Saya nakal sudah dari muda, makanya ndaksuka Saya sama yang formal – formal begitu. Ha ha ha.”

Beliau awalnya bekerja tahun 70-an di Kejaksaan Semarang, satu dan lain hal, pindah ke LP Semarang juga. Lalu terakhir, bekerja tiga tahun (1982 - 1985)di American Cousultant di Semarang. Sejenis badan perwakilan kedutaan di Semarang, dan pekerjaan terakhirnya hingga kini adalah penjual bubur.  Itu bisa dibuktikan dari beberapa fotonya zaman beheula.

“Tahun ’85, Ibu Saya masuk rumah sakit. Rumah ini kosong, jadinya ibu Saya minta sama Saya untuk kembali ke rumah jagain rumah ini. Kasian, ndak ada yang tinggal. Lalu kemudian ibu meninggal. Jadinya Saya tinggal sampai sekarang. Saudara – saudara Saya semua sudah kerja, punya rumah sendiri. Kasihan ndak ada yang tinggal lagi di sini.” Terangnya. 

Memang, dari cara bicaranya, beliau bukan orang sembarangan, penggunaan istilah – istilah, kadang terselip kosakata inggris. Jadi kucoba bicara dengna menggunakan bahasa Inggris dengannya. Memang, sudah mental Saya mencari tahu. Jadi niatan Saya hanya ingin mencoba kebenaran ceritanya. Dan ternyata umpan Saya disambut, beliau membalas percakapan dengan inggris bsaya dan tanpa cacat. Wah, inggrisnya malah lebih baik daripada Saya. Jadi untuk menghindar, lebih baik jangan kuteruskan dalam inggris. Bahaya. Baru beberapa kali percakapan saja Saya sudah kalah telak. Bisa hancur lebur Inggris Saya dilumatnya. Ha ha ha.

Dan lalu obrolan kami melantur kesana – kemari tentang keluarganya, tentang kedua anaknya. Yang sulung anak perempuan, sekarang tinggal di Palembang. Sudah menikah. Sedangkan yang bungsu baru saja lulus SMA kemarin. Dan mau melanjutkan kuliah.  

“Saya bilang sama di Adit (anak bungsunya), Maaf ibu ndak bisa kasih kamu warisan harta. Ibu Cuma kasih kamu ilmu. Belajar yang benar, kalau di otak ilmu ada, ntar uangnya datang sendiri.”

Saya sempat melihat – lihat beberapa rak dalam rumah itu, ada berjejer beberapa piala milik anak bungsunya. Piala basket, sampai piala juara satu lomba design web tingkat Sekolah Menengah Atas. Yah, sepertinya anaknya lebih pintar IT daripada Saya. Ha ha ha.

“Jadi dulu, rumah ini rame sekali. Ayah kan sering touring ke Madiun, sampe kadang ke Kalimantan sana.

Jadi dulu itu kan ndak ada listrik, hiburan cuman radio mata kucing, kalo malam ya sudah ndak ada. Palingan wayang, itupun ndak setiap hari. Jadi ya, kenapa orang dulu itu banyak anak? Ya karena kurang hiburan. Makanya mbikin anak jadi hiburan. Ha ha ha.

Ya, kami anak sembilan ini sama Ibu yang jaga rumah. Ibu kan dari subuh sudah ke rumah sakit. Makanya anak sembilan ini yang bersihin rumah. Biasanya ada pembagian tugas, kaka Saya yang nomer satu dan dua biasanya ngepel teras depan, begitu seterusnya sampai di belakang. Jadi kalau ibu pulang kerja, bagian mana yang masih kotor ya pasti disuruh ngepel ulang sama ibu. Tangung jawab yang punya area. Ha ha ha.

Jadi ini kamarnya ada banyak, satu kamar dihuni dua anak. Ibu itu tata krama Belandanya keras sekali. Dulu kita jam enam sore sudah harus ada di rumah. Anak tidak boleh makan di luar. Harus makan bersama keluarga. Tiap jam delapan kami semua sudah harus ada di meja makan. Makan bersama. Masing – masing punya piring, sendok, gelas sendiri – sendiri. Di meja makan itulah, kita saling sharing soal sekolahan sama orang tua. Jadi meja makan itu pasti rame dan ribut kaya’ lagi arisan. Ndak boleh makan di kamar, di manapun selain meja makan. Makan harus sama – sama, ndak boleh sendiri – sendiri. Jadi sudah kaya’ ada jadwalnya begitu.”

Dan percakapan kamipun merambat di kehidupan lalunya.

 “Dulu itu, Saya ndak kayak sekarang jualan bubur. Saya punya rumah dua. Ada satu di daerah Kemiri sana. Mobil Saya ada, motor Saya ada. Jadi kalau orang mau cerita soal kaya. Saya pernah kaya. Dulu kan Saya juga jualan tanah. Jadi yah, lumayanlah. Tapi banyak itu uang Saya habis di dadu –maen judi. Ha ha ha.

Kemarin rumah Saya yang di Kemiri itu dibobol maling. Yang anehnya, barang yang hilang itu cuman teko, penggorengan sama panci – panci alumunium. Dalam hati, ini yang nyolong kok pekok, tanggung amat. Jadi, Saya ya pikir, itu bukan maling. Mungkin pemulung atau apalah. Ndak apa – apa, memang rumahnya kosong, barang – barangnya ndak kepake. Jadi biarlah diambil sama orang yang membutuhkan, daripada cuman jadi pajangan di dapur ya, ndak apa – apa dipake sama orang yang butuh kan ya ? 

Mobil Saya juga dicuri dulu. Ndak apa – apa, kan kak tau Saya jualan tanah. Mungkin waktu itu ada terselip uang haram. Ya, tau lah ya, kalau soal tanah, jual kelebihan 1 cm juga bisa dibilang uang yang kita dapat udah jadi uang haram. Mungkin juga seperti itu, makanya uang dan barang hasil penjualan tidak terlalu Saya pikirkan. Siapa tahu, memang itu ada terselip uang haram. Dan kalau hilang dari Saya ya bukan hak Saya, tapi hak yang di atas yang ngasih. Toh, ya namanya bisnis ya Kak, haram sama Halal itu bedanya tipis sekali. Sampai – sampai kita ndak bisa membedakan loh ya.

Saya itu kalau minjemin uang. Saya ndak pernah mikir. Pokoknya kalau itu uang udah ndak ada di tangan Saya, Saya udah biarkan pergi. Saya suka lupa sama utang – utang orang dari Saya. Eh, pas Saya lagi butuh uang, orangnya gantiin. Ha ha ha.

Ndak usah takut sama kekurangan harta. Yang ngasih itu yang diatas. Saya tahu, yang diatas itu orang tua Saya. Pasti penuhin kebutuhan Saya.  Ya tentu saja , harus ada balas jasanya juga. Hidup baik sama orang lain, rajin sholat. Ya kalau maunya minta melulu ndak ada balas jasanya, sama aja dengan pemerasan. Iya kan kak? 

Makanya Saya sih santai – santai saja. Yang ngatur rejeki kan di atas ya? Jadi ndak masalah Saya. Saya hidup cuman buat hari ini, esok dengan masalahnya sendiri. Jadi ndak mau Saya ambil pusing.
Terlalu banyak mikir hari esok nanti cepat tua. Ya, Saya udah tua ya kak ya? Ha ha ha. ”


Dan tentang kehidupan sosialnya,


“Ada itu kakak Saya satu, udah pindah agama Nasarani. Tapi kalau ada acara – acara apa pelayanan kesehatan atau apa begitu yang butuh tenaga, ya Saya sering bantuin. Terserah orang mau bilang Saya kayak gimana. Saya hidup, sudat tugas Saya buat bantu manusia lain. Urusan agama mah itu urusan Saya sama yang diatas. Yang penting untuk kemanusiaan dulu. Begitu kan ya? Ha ha ha.”

Jam menunjukan pukul sepuluh. Kopi di gelas sudah tandas sejak tadi. Bahkan gelasnya sudah jadi dingin. Aku ingin pamit pulang, sekalian Ibu juga mau membereskan jualannya. Memang biasanya, tutup jam sepuluh. Jadi Aku minta diri. Dan kemudia Aku pulang, dan menuliskan ini semua. He he he.


 Salatiga, Pagi, 15 Juni 2011.

2 komentar:

Unhy Sakinah said...

akhirnya diposting juga :)
makasih, kaka mike :)

Michael Edward said...

Sama2 Unhy..hehe.. :D maaf yo, masih sepi.. setelha blog lama hilang, jadi buntu otak ni.. hahha

Post a Comment